Thursday 3 March 2016

Pengembangan Organisasi

A. PENGERTIAN PENGEMBANGAN ORGANISASI
Ada beberapa pengertian mengenai Pengembangan Organisasi, yaitu:
  1. Pengembangan Organisasi merupakan suatu proses yang meliputi serangkaian perencanaan perubahan yang sistematis yang dilakukan secara terus-menerus oleh suatu organisasi
  2. Pengembangan Organisasi merupakan suatu pendekatan situasional atau kontingensi untuk meningkatkan efektifitas organisasi
  3. Pengembangan Organisasi lebih menekankan pada sistem sebagai sasaran perubahan
  4. Pengembangan Organisasi meliputi perubahan yang sengaja direncanakan
Pengembangan organisasi mengukur prestasi suatu organisasi dari segi efisiensi, efektifitas dan kesehatan:
  1. Efisien dapat diukur dengan perbandingan antara masukan dan keluaran, yang mengacu pada konsep Minimaks (Masukan minimum dan keluaran maksimum)
  2. Efektifitas adalah suatu tingkat prestasi organisasi dalam mencapai tujuannya artinya kesejahteraan tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai
  3. Kesehatan organisasi adalah suatu fungsi dari sifat dan mutu hubungan antara para individu dan organisasi yaitu hubungan yang dinamis dan adaptabilitas
B. TUJUAN PENGEMBANGAN ORGANISASI
  1. Menciptakan keharmonisan hubungan kejra antara pimpinan dengan staf anggota organisasi
  2. Menciptakan kemampuan memecahkan persoalan organisasi secara lebih terbuka
  3. Menciptakan keterbukaan dalam berkomunikasi
  4. Merupakan semangat kerja untuk para anggota organisasi dan kemampuan mengendalikan diri
  5. Dalam kenyataannya organisasi seringkali terjadi stagnan yang disebabkan keengganan manusia untuk mengikuti perubahan, dimana perubahan dianggap bisa menyebabkan dis equilibrium. Hal ini mengakibatkan patologi dalam organisasi sehingga perlu dilakukan evaluasi, adaptasi, kaderisasi dan inovasi.

C. SIFAT-SIFAT DASAR PENGEMBANGAN ORGANISASI
  1. Pengembangan Organisasi merupakan suatu strategi terencana dalam mewujudkan perubahan organisasional, perubahan yang dimaksud harus mempunyai sasaran yang jelas dan didasarkan pada suatu diagnosis yang tepat mengenai permasalahan yang dihadapi oleh organisasi
  2. Pengembangan Organisasi harus berupa kolaborasi antara berbagai pihak yang akan mengalami dampak perubahan yang akan terjadi, keterlibatan dan partisipasi para anggota organisasi harus mendapat perhatian
  3. Program Pengembangan Organisasi menekankan cara-cara baru yang diperlukan guna meningkatkan kinerja seluruh anggota organisasi
  4. Pengembangan Organisasi mengandung nilai-nilai humanistik dalam arti bahwa dalam meningkatkan efektifitas organisasi, potensi manusia harus menjadi bagian yang penting
  5. Pengembangan Organisasi menggunakan pendekatan kesisteman yang berarti selalu memperhitungkan pentingnya inter relasi, interaksi dan inter dependensi
  6. Pengembangan Organisasi menggunakan pendekatan ilmiah untuk mencapai efektivitas organisasi
D. NILAI-NILAI DALAM PENGEMBANGAN ORGANISASI
  1. Penghargaan akan orang lain
  2. Percaya dan mendukung orang lain, sedangkan individu sendiri harus mempunyai tanggung jawab
  3. Pengamanan kekuasaan (mengurangi tekanan pada wewenang)
  4. Konfrontasi (masalah yang tidak disembunyikan)
  5. Partisipasi (melibatkan orang-orang yang mempunyai potensi dalam proses pengembangan organisasi)
E. PROSES PENGEMBANGAN ORGANISASI
  1. Pengenalan masalah
  2. Diagnosis Organisasional
  3. Pengembangan strategi perubahan
  4. Intervensi
  5. Pengukuran dan Evaluasi
F. STRATEGI PENGEMBANGAN ORGANISASI
Teknik pengembangan oraganisasi pada hakekatnya adalah strategi interfensi yang dapat dipergunakan untuk mengatasi dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh organisasi atau di dalam melakukan perubahan-perubahan. Sampai sekarang cukup banyak teknik pengembangan organisasi yang telah dikembangkan oleh para pakar. Di antara teknik-teknik tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Latihan Kepekaan (sensitivity taining); Merupakan teknik pengembangan yang pertama diperkenalkan dan ayang dahulu paling sering digunakan. Teknik ini sering disebut juga T-group. Dalam kelompok kelomok T (singkatan training) yang masing masing terdiri atas 6 – 10 peserta, pemimpin kelompok (terlatih) membimbing peserta meningkatkan kepekaan (sensitivity) terhadap orang lain, serta ketrampilan dalam hubunga antar-pribadi.
  2. Kisi Pengembangan Organisasi; Pendekatan grip pada pengembangan organisasi di dasarkan pada konsep managerial grip yang diperkenalkan oleh Robert Blake dan Jane Mouton. Konsep ini mengevaluasi gaya kepemimpinan mereka yang kurang efektif menjadi gaya kepemimpinan yang ideal, yang berorientasi maksimum pada aspek manusia maupun aspek produksi.
  3. Survai Umpan Balik; Tiap peserta diminta menjawab kuesioner yang dimaksud untuk mengukur persepsi serta sikap mereka (misalnya persepsi tentang kepuasan kerja dan gaya kepemimpinan mereka). Hasil surveini diumpan balikkan pada setiap peserta, termasuk pada para penyelia dan manajer yang terlibat. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan kuliah atau lokakarya yang mengevaluasi hasil keseluruhan dan mengusulkan perbaikan perbaikan konstruktif.
  4. Konsultasi Proses; Dalam Process consultation, konsultan pengembangan organisasi mengamati komunikasi, pola pengambilan keputusan, gaya kepemimpinan, metode kerjasama, dan pemecahan konflik dalam tiap unit organisasi. Konsultan kemudian memberikan umpan balik pada semua pihak yang terlibat tentang proses yang telah diamatinya, serta menganjurkan tindakan koreksi.
  5. Pembentukan Tim; Adalah pendekatan yang bertujuan memperdalam efektivitas serta kepuasaan tiap individu dalam kelompok kerjanya atau tim. Teknik tim building sangat membantu meningkatkan kerjasama dalam tim yang menangani proyek dan organisasinya bersifat matriks.
  6. Transcational Analysis (TA); TA berkonsentrasi pada gaya komunikasi antar-individu. TA mengajarkan cara menyampaikan pesan yang jelas dan bertanggung jawab, serta cara menjawab yang wajar dan menyenangkan. TA dimaksudkan untuk mengurangi kebiasaan komunikasi yang buruk dan menyesatkan.
  7. Intergroup Activities; Fokus dalam teknik intergroup activities adalah peningkatan hubungan baik antar-kelompok.Ketergantungan antar kelompok , yang membentuk kesatuan organisasi, menimbulkan banyak masalah dalam koordinasi. Intergroup activities dirancang untuk meningkatkan kerjasama atau memecahkan konflik yang mungkin timbul akibat saling ketergantungan tersebut.
  8. Third-party Peacemaking;Dalam menerapkan teknik ini, konsultan pengembangan organisasi berperan sebagai pihak ketiga yang memanfaatkan berbagai cara menengahi sengketa, serta berbagai teknik negosiasi untuk memecahkan persoalan atau konflik antar-individu dan kelompok.
Pengembangan organisasi merupakan salah satu pokok bahasan yang penting dalam perbincangan organisasi. Hal ini dapat dimaklumi karena manusia, pekerjaan dan lingkungan kerja atau organisasi dimana berada merupakan tiga hal yang saling berkaitan secara erat, dan dalam pada itu pengembangan organisasi diperlukan tidak lain untuk meningkatkan efektifitas organisasi yang berkualitas.
G. PENOLAKAN/ PERTENTANGAN PERUBAHAN ORGANISASI

Sebab-sebab penolakan/ penentangan terhadap perubahan adalah :
  1. Security; Merasa tidak aman dengan kondisi baru yang belum diketahui sehingga perlu penyesuaian.
  2. Economic (berkaitan dengan untung rugi); Organisasi cenderung menolak perubahan karena tidak mau menanggung kerugian dengan adanya perubahan.
  3. Psikologis dan budaya/kebiasaan, yaitu :
a.       Persepsi; Persepsi yang salah bisa menjadi sumber terjadinya sikap menentang terhadap perubahan.
b.      Emosi; Emosi akan menimbulkan prasangka sehingga cenderung menolak perubahan.
c.       Kultur; Berguna sebagai dasar dalam menilai hal-hal baru yang diterimanya.

H. FAKTOR PENGEMBANGAN ORGANISASI

Faktor –faktor penyebab dilakukannya pengembangan organisasi adalah :
a.       Kekuatan eksternal
  1. Kompetisi yang semakin tajam antar organisasi.
  2. Perkembangan IPTEK.
  3. Perubahan lingkungan baik lingkungan fisik maupun sosial yang membuat organisasi berfikir bagaimana mendapatkan sumber diluar organisasi untuk masa depan organisasi.
b.      Kekuatan internal
Struktur, sistem dan prosedur, perlengkapan dan fasilitas, proses dan sasaran bila tidak cocok akan membuat organisasi melakukan perbaikan. Perubahan organisasi dilakukan untuk mencocokkan dengan kebutuhan yang ada.

Karakteristik Pengembangan Organisasi
  1. Keputusan penuh dengan pertimbangan.
  2. Diterapkan pada semua sub sistem manusia baik individu, kelompok dan organisasi.
  3. Menerima intervensi baik dari luar maupun dalam organisasi yang mempunyai kedudukan di luar mekanisme organisasi.
  4. Kolaborasi.
  5. Teori sebagai alat analisis.

Langkah-Langkah Pengembangan Organisasi
  1. Penilaian keadaan.
  2. Pemecahan masalah.
  3. Implementasi.
  4. Evaluasi.

Pengembangan Organisasi merupakan program yang berusaha meningkatkan efektivitas keorganisasian dengan mengintegrasikan keinginan individu akan pertumbuhan dan perkembangan dengan tujuan keorganisasian.

1.2. SEJARAH PENGEMBANGAN ORGANISASI

A. PANDANGAN BARU TENTANG PERKEMBANGAN ORGANISASI

Berikut ini adalah sejarah singkat mengenai evolusi Perkembangan Organisasi yang berasal dari lima batang tubuh sebagai berikut:
  1. Latar Belakang Pelatihan Laboratorium
Pelatihan Laboratorium (Laboratory Training/LT) adalah pergerakan pertama, pelopor, atau awal mula dari Perkembangan Organisasi. LT atau yang biasa dikenal sebagai Kelompok T adalah suatu kelompok kecil tak terstruktur yang mana di dalamnya, partisipan belajar dari interaksi mereka sendiri dan dari dinamika perubahan seperti isu tentang hubungan antarpersonal, pertumbuhan personal, kepemimpinan, dan dinamika kelompok. LT ini dimulai pada musim panas tahun 1946 ketika Kurt Lewin dan stafnya yang ada di Research Center for Group Dynamics di Massachusetts Institut of Technology diminta oleh Connecticut Interracial Commission dan Committee on Community Interrelation dalam American Jewish Congress untuk membantu penelitian pada pelatihan pemimpin masyarakat. Suatu workshop pun dikembangkan dan disana, pemimpin masyarakat dibawa bersama-sama untuk mempelajari kepemimpinan dan mendiskusikan masalah. Di tiap akhir harinya, para peneliti mendiskusikan secara privat apa saja perilaku dan dinamika kelompok yang mereka amati.  Mengetahui hal itu, para pemimpin masyarakat pun meminta izin agar mereka diikutsertakan dalam sesi umpan balik. Awalnya para peneliti enggan, namun akhirnya mereka menyetujuinya. Dari sinilah, Kelompok T pertama kali terbentuk. Para peneliti pun kemudian mengambil dua kesimpulan mengenai ekperimen Kelompok T pertama ini sebagai berikut: (1) umpan balik tentang interaksi kelompok adalah pengalaman belajar yang sangat berharga, dan (2) proses pembangunan kelompok mempunyai potensi bagi pembelajaran yang dapat dipindah ke situasi “kembali-pulang”.
Sebagai hasil pengalaman ini, Office of Naval Research dan National Education Associaion memberikan dukungan dana untuk membentuk National Training Laboratories, dan Gould Academy di Bethel, Maine dipilih sebagai tempat kerjanya.
Lalu, suatu fenomena baru muncul pada tahun 1950. Sebuah percobaan dilakukan untuk mengadakan Kelompok T di pagi hari dan Kelompok Keterampilan Kognitif atau yang biasa dikenal sebagai Kelompok A di sore hari. Percobaan ini menjadi awal mula dari sebuah dekade ekperimen dan frustasi pembelajaran, terutama dalam percobaan untuk memindah keterampilan yang dipelajari dalam Kelompok T ke situasi “kembali-pulang”.
Pada tahun 1950,  muncul 3 gejala sebagai berikut:
  1. Munculnya laboratorium regional.
  2. Ekspansi dari sesi program musim panas menjadi sesi tahunan.
  3. Ekspansi kelompok T ke dalam bidang bisnis dan industri. Tokoh pelopor dari upaya ini adalah Douglas McGregor di Union Carbridge, Herbert Shepard dan Robert Blake di Esso Standard Oil, dan McGregor dan Richard Beckhard di General Mills. Penggunaan metode Kelompok T pada ketiga perusahaan inilah yang kemudian melahirkan istilah Pengembangan Organisasi/ OD (organizing development).
Penggunaan teknik Kelompok T pada organisasi-organisasi kemudian dikenal sebagai pembangunan tim (team building), yaitu suatu proses pembantuan kelompok kerja untuk menjadi lebih efektif dalam menyelesaikan tugas dan memuaskan kebutuhan anggota.
  1. Latar Belakang Penelitian Tindakan dan Umpan Balik Survei
Kurt Lewin ternyata juga terlibat dalam Penelitian Tindakan dan Umpan Balik Survei (Action Research and Survey Feedback/ARASF), yaitu pergerakan kedua yang memunculkan Pengembanagan Organisasi sebagai bidang praktis ilmu pengetahuan sosial. Kontribusi penelitian tindakan sendiri dimulai pada tahun 1940 dengan studi yang dipimpin oleh ahli ilmu sosial John Collier, Kurt Lewin, dan William Whyte. Mereka menemukan bahwa suatu penelitian butuh untuk dihubungkan lebih dekat dengan tindakan jika anggota organisasi ingin menggunakannya untuk memanajemen perubahan. Suatu upaya kolaboratif diinisiasikan antara ahli sosial dengan anggota organisasi untuk mengumpulkan data penelitian tentang fungsi organisasi, untuk menganalisis penyebab permasalahannya, lalu untuk merencanakan dan melaksanakan solusinya. Setelah pelaksanaan, data tersebut dikumpulkan untuk dinilai hasilnya. Upaya tersebut terus dilakukan dalam suatu siklus yang berkelanjutan. Lalu, hasil dari penelitian tindakan tersebut adalah sebagai berikut: (a) anggota organisasi mampu mengadakan penelitian pada dirinya sendiri untuk mengendalikan tindakan dan perubahan, dan (b) ahli ilmu sosial mampu mempelajari bahwa proses untuk mendapatkan pengetahuan baru dapat diadakan dimana saja. Adapun, komponen utama dari studi penelitian tindakan adalah data survei adalah umpan balik kepada klien yang harus dikumpulkan secara sistematis.
Pada tahun 1948, Rensis Likert dan Floyd Mann memimpin suatu survei perusahaan besar tentang manajemen dan sikap tenaga kerja di Detroit Edison, yang mana hasilnya adalah sebagai berikut: (a) sudut pandang 8000 tenaga kerja yang tak terawasi tentang supervisor mereka, peluang promosi jabatan, dan kepuasan kerja dengan rekannya, (b) kesamaan reaksi dari lini pertama dan kedua supervisor, dan (c) informasi dari manajer yang lebih tinggi.
Lalu, proses umpan balik yang dikembangkan adalah pertemuan berantai (interlocking chain of conferences). Penemuan  survei dilaporkan terlebih dahulu kepada manajer tertinggi, baru setelah itu disebarluaskan ke seluruh organisasi. Sesi umpan balik dibawa ke kelompok kerja, yang mana data tersebut kemudian didiskusikan oleh supervisor dan bawahannya secara bersama-sama.
Studi ketiga mengindikasikan bahwa perubahan yang lebih signifikan dan positif, seperti kepuasan kerja, terjadi pada departemen yang menerima umpan balik. Dari penemuan tersebut, Likert dan Mann memperoleh beberapa kesimpulan tentang efek umpan balik survei pada perubahan organisasi. Hal ini kemudian membawa adanya keanekaragaman metode umpan balik survei yang dapat digunakan.
  1. Latar Belakang Manajemen Partisipasif
Kelanjutan dari LT dan ARASF adalah adanya keyakinan bahwa hubungan manusia merupakan suatu jalan terbaik untuk memanajemen organisasi. Adapun, terdapat 4 tipe sistem manajemen dalam organisasi sebagai berikut :
a.       Sistem 1 – Sistem Kekuasaan Eksploitatif. Sistem ini menampilkan adanya otokrasi, kepemimpinan secara top-down. Motivasi pekerja didasarkan pada adanya hadiah dan sanksi. Komunikasi sangat rendah dan hanya terdapat sedikit interaksi atau kerjasama kelompok secara vertikal. Pengambilan keputusan dan pengawasan berada pada tingkat atas organisasi. Sistem 1 menghasilkan performansi yang cukup atau sedang.
b.      Sistem 2 – Sistem Kekuasaan Bijak. Sistem ini hampir sama dengan sistem 1, namun manajernya yang lebih paternalistik/kebapak-bapakan. Pekerja lebih diperbolehkan untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan berkeputusan, asalkan tetap dalam batasan yang ditentukan oleh manajer.
c.       Sistem 3 – Sistem Konsultatif. Sistem ini lebih menambah interaksi, komunikasi, dan pengambilan keputusan bagi pekerja. Meskipun pekerja boleh berkonsultasi tentang masalah dan keputusannya, namun manajer tetap menjadi pemegang dan pengambil keputusan akhir. Dalam sistem ini, produktivitas organisasi baik dan pekerja pun cukup puas.
d.      Sistem 4 – Sistem Kelompok Partisipasif. Sistem ini adalah kebalikan dari sistem 1. Didesain sedemikian rupa dalam metode kelompok untuk mengambil keputusan dan melakukan pengawasan. Sistem ini membantu menaikkan derajat dan persentase dari keterlibatan dan partisipasi anggota organisasi. Kelompok kerja terlibat penuh dalam penetapan tujuan, pengambilan keputusan, perbaikan metode, dan penilaian hasil. Komunikasi terjadi secara vertikal dan horisontal, dan keputusan terhubung ke seluruh organisasi melalui keanggotaan kelompok. Dalam sistem ini, produktivitas, kualitas, dan kepuasaan anggota sangat tinggi.
Dan dari keempat sistem tersebut, Likert menggunakan sistem ke 4. Intervensi dimulai dengan pengisian Profil Karakteristik Organisasi oleh anggota organisasi. Survei tersebut menanyakan pendapat anggota tentang kondisi yang ada sekarang dan kondisi yang ideal tentang 6 fitur organisasi, yaitu kepemimpinan, motivasi, komunikasi, keputusan, tujuan, dan pengawasan. Setelah itu, data diumpan balikkan kepada kelompok kerja yang berbeda dalam organisasi.
  1. Latar Belakang Produkitivitas dan Kualitas Kehidupan Kerja
Kontribusi latar belakang Produktivitas dan Kualitas Kehidupan Kerja (Productivity and Quality-of-Work-Life/QWL) dapat dideskripsikan dalam 2 tahap. Tahap pertama dideskripisikan melalui proyek asli yang dikembangkan di eropa pada tahun 1950 dan kemunculannya di Amerika Serikat pada tahun 1960. Program QWL ini adalah program yang melibatkan partisipasi serikat dan manajer dalam mendesain kerja. Dan, sebagai hasilnya adalah desain kerja yang memberikan para pekerja kebijaksanaan, variasi kerja, dan umpan balik tentang hasil yang tinggi. Adapun, karakteristik dari program QWL adalah pengembangan kelompok kerja manajemen mandiri sebagai bentuk baru desain kerja. Kelompok kerja manajemen mandiri ini terdiri dari para pekerja dengan berbagai keterampilan, yang mana diberikan otonomi dan informasi yang sangat penting untuk mendesain dan memanajemen performansi tugas mereka sendiri.
Lalu, ketika program ini masuk ke Amerika, beranekaragam konsep dan teknik diadopsi, sehingga akhirnya terdapat 2 definisi mengenai QWL pada awal perkembangannya. QWL pertama kali didefinisikan dengan istilah reaksi orang untuk bekerja, yang mana keluaran individualnya berhubungan dengan kepuasan kerja dan kesehatan mental. Dengan definisi ini, QWL memusatkan perhatiannya pada konsekuensi personal dalam pengalaman kerja dan pada cara perbaikan kerja untuk memuaskan kebutuhan personal. Sedangkan, definisi kedua QWL adalah pendekatan atau metode atau teknik untuk memperbaiki kerja.
Adapun, tahap kedua kontribusi QWL muncul pada tahun 1979, selang 9 tahun dari berakhirnya tahap pertama kontribusi QWL, yaitu tahun 1970. Faktor utama penyebabnya adalah pertumbuhan persaingan internasional yang dihadapi Amerika Serikat di pasar baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dan, salah satu bentuk persaingan dari luar negeri adalah adanya barang asing yang menawarkan kualitas tinggi dengan harga yang relatif rendah.
Alhasil, program QWL pun melebarluaskan fokusnya pada desain kerja dengan memasukkan fitur lain dari tempat kerja yang dapat mempengaruhi produktivitas dan kepuasan pekerja, seperti sistem hadiah, aliran kerja, gaya kepemimpinan, dan lingkungan fisik kerja.
Pada satu poin, produktivitas dan QWL menjadi sangat populer, sehingga kemudian dikenal sebagai suatu pergerakan ideologis. QWL pun menjadi semakin dikenal dalam penyebaran lingkaran kualitas (qualities circle) ke dalam banyak perusahaan. Lingkaran kualitas adalah suatu kelompok yang di dalamnya memberikan pelatihan kepada pekerja mengenai metode pemecahan masalah agar dapat memecahkan masalah lingkungan kerja, produktivitas, pengendalian kualitas, dan dapat mengembangkan cara kerja yang lebih efisien.
Pada masa kini, aktivitas QWL berkembang lebih lanjut di bawah nama Keterlibatan Pekerja (Employee Involvement/IE). IE signifikan dengan tumbuhnya perhatian mengenai bagaimana pekerja dapat lebih berkontribusi untuk menjalankan organisasi agar lebih fleksibel, produktif, dan kompetitif. Dan seiring perkembangan waktu, istilah IE pun mengganti istilah Pemberdayaan Pekerja (Employee Empowerment/EE) karena istilah EE terlalu terbatas perhatiannya pada aspek kekuatan saja. Selain itu, dengan istilah EE, para praktisi bisa saja melupakan elemen-elemen yang sangat dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan, seperti informasi, keterampilan, dan hadiah.
Akhirnya, produktivitas dan QWL memperoleh momentum baru melalui kekuatan penggabungan dengan pergerakan mutu terpadu yang disarankan oleh Edwards Deming dan Joseph Juran. Dalam pendekatan ini, organisasi terlihat sebagai sebuah kumpulan proses yang dapat dihubungkan dengan kualitas produk dan layanan, yang dapat dimodelkan dengan teknik statistik, yang dapat diperbaiki secara berkelanjutan.
  1. Latar Belakang Perubahan Strategis
Latar belakang Perubahan Strategis (Strategic Change/SC) adalah pengaruh terbaru dari evolusi Pengembangan Organisasi. Sebagaimana organisasi dan lingkungan teknologi, politik, dan sosialnya menjadi bertambah kompleks dan tidak pasti, skala dan kerumitan perubahan organisasi pun juga turut bertambah. Gejala ini akhirnya memunculkan adanya kebutuhan akan perspektif stategis dari Pengembangan Organisasi dan menyarankan adanya proses perubahan terencana pada tingkat organisasi.
SC meliputi perbaikan jajaran antara lingkungan organisasi, strategi, dan desain organisasi. Intervensi SC meliputi upaya perbaikan hubungan organisasi dengan lingkungannya dengan penyesuain terhadap sistem teknik, politik, dan budayanya. Kebutuhan akan SC biasanya didorong oleh adanya gangguan besar pada organisasi, seperti syarat pengaturan, terobosan teknologi, ataupun datangnya eksekutif baru dari luar organisasi.
Penggunaan SC untuk yang pertama kalinya adalah pada sistem perencanaan terbuka Richard Beckhard. Dia mengemukakan bahwa lingkungan organisasi dan strateginya dapat dideskripsikan dan dianalis. Berdasarkan pada misi inti organisasi, perbedaan antara apa yang organisasi minta dengan bagaimana organisasi merespon dapat dikurangi. Selain itu, performansi perusahaan juga dapat diperbaiki. Sejak saat itu, agen-agen perubahan pun mengusulkan beraneka ragam model SC yang mana tiap-tiapnya mengakui bahwa SC melibatkan tingkatan terkecil dari organisasi dan suatu perubahan dalam kebudayaannya,  yang mana seringkali dijalankan oleh atasan melalui eksekutif yang kuat dan mempunyai pengaruh yang penting bagi performansi.

 

1.3. EVOLUSI PENGEMBANGAN ORGANISASI

Pelaksanaan Pengembangan Organisasi pada masa kini dipengaruhi sangat kuat oleh kelima latar belakang di atas. Penelitian Laboratorium, Penelitian Tindakan dan Umpan Balik Survei, dan Manajemen Partisipasif berkontribusi menjadi nilai dasar dari pelaksanaan Pengembangan Organisasi, sedangkan Produktivitas dan Kualitas Kehidupan Kerja dan Perubahan Strategis berkontribusi memperbaiki relevansi dan kekakuan dari pelaksanaan Pengembangan Organisasi. Kelima latar belakang tersebut juga menambah indikator efektivitas finansial dan ekonomi pada ukuran tradisional Pengembangan Organisasi tentang kepuasan kerja dan pertumbuhan personal.
Sekarang, Pengembangan Organisasi tengah terpengaruh oleh gejala globalisasi dan teknologi informasi. Dan mau tidak mau, Pengembangan Organisasi harus mengadaptasikan metodenya dengan teknologi yang tengah ada dan tengah digunakan dalam organisasi. Sebagaimana teknologi informasi terus berlanjut mempengaruhi lingkungan, strategi, dan struktur organisasi, Pengembangan Organisasi akan terus membutuhkan manajemen proses perubahan untuk menghadapinya.
A.    Teori Perubahan Terencana
Gambaran perubahan yang terencana cenderung terpusat pada bagaimana perubahan dapat diimplementasikan dalam organisasi.
B.     Model Perubahan Kurt Lewin
Kurt Lewin menyatakan bahwa memodifikasi kekuatan-kekuatan mempertahankan status quo menghasilkan ketegangan yangakurang dan resistensi dari kekuatan untuk meningkatkan perubahan dan akibatnya adalah strategi perubahan yang lebih efektif. Lewin memandang proses perubahan ini sebagai terdiri dari tiga langkah berikut, yaitu :
1.      Unfreezing. Langkah ini biasanya melibatkan pengurangan kekuatan-kekuatan untuk menjaga perilaku organisasi di tingkat yang sekarang. Unfreezing kadang-kadang dilakukan melalui suatu proses. Dengan memperkenalkan informasi yang menunjukkan perbedaan antara perilaku yang diinginkan oleh anggota organisasi dan memperlihatkan perilaku tersebut untuk saat ini, anggota dapat termotivasi untuk terlibat dalam kegiatan perubahan.
2.      Bergerak. Langkah ini menggeser perilaku organisasi, departemen, atau individu untuk tingkatan yang baru. Ini melibatkan campur tangan dalam sistem untuk mengembangkan perilaku baru, nilai, dan sikap melalui perubahan struktur organisasi dan proses.
3.      Refreezing. Langkah ini menstabilkan organisasi pada keadaan keseimbangan baru. Hal ini sering dicapai melalui penggunaan mekanisme pendukung yang memperkuat keadaan organisasi baru, seperti budaya organisasi, norma, kebijakan, dan struktur.
C.    Model Penelitian Tindakan
Model penelitian tindakan berfokus pada perubahan terencana sebagai proses siklus di mana penelitian awal tentang organisasi ini memberikan informasi untuk memandu tindakan selanjutnya. Kemudian hasil dari tindakan yang dinilai untuk memberikan tindakan lebih lanjut, dan sebagainya. Ini berulang siklus penelitian dan tindakan melibatkan kolaborasi besar antara anggota organisasi dan praktisi OD. Ini menempatkan penekanan pada pengumpulan data dan diagnosis sebelum perencanaan tindakan dan pelaksanaan, serta evaluasi yang cermat dari hasil setelah tindakan diambil.
Identifikasi Delapan  langkah utama dalam model penelitian tindakan, yaitu :
1.      Masalah.
2.      Konsultasi dengan ahli ilmu perilaku.
3.      Pengumpulan data dan diagnosis awal
4.      Umpan balik kepada klien kunci atau kelompok
5.      Bersama diagnosis masalah
6.      Bersama tindakan perencanaan
7.      Pelaksanaan
8.      Pengumpulan data setelah tindakan
D.    Kontemporer Adaptasi Dari Penelitian
Gaya penerapan penelitian meliputi gerakan dari subunit kecil dari organisasi untuk sistem total dan masyarakat. Dalam konteks yang lebih besar, tindakan siklus penelitian dikoordinasikan di seluruh proses perubahan beberapa dan termasuk keragaman stakeholder yang memiliki kepentingan dalam organisasi.
Dalam modifikasi penelitian tindakan, peran Pengembangan Organisasi konsultan bekerja dengan anggota untuk memfasilitasi proses pembelajaran. Kedua belah pihak adalah “co-pelajar” dalam mendiagnosis organisasi, merancang perubahan, dan melaksanakan dan menilai mereka. Tidak satu pihak pun mendominasi proses perubahan. Sebaliknya, setiap peserta membawa informasi yang unik dan keahlian untuk situasi, dan mereka menggabungkan sumber daya mereka untuk belajar cara mengubah organisasi. Konsultan, misalnya, tahu bagaimana merancang alat diagnostik dan intervensi Pengembangan Organisasi, dan anggota organisasi memiliki pengetahuan lokal tentang organisasi dan bagaimana fungsinya. Setiap peserta belajar dari proses perubahan. Anggota organisasi mengetahui bagaimana caranya mengubah organisasi mereka dan bagaimana untuk menyempurnakan dan memperbaikinya. Konsultan Pengembangan Organisasi belajar bagaimana memfasilitasi pembelajaran perubahan organisasi yang kompleks.
E.     Perbandingan Model Perubahan
Dua model pertama menekankan peran konsultan dengan keterlibatan anggota yang terbatas dalam proses perubahan. Aplikasi kontemporer, di sisi lain, mengobati kedua konsultan dan peserta sebagai co-pelajar yang sangat terlibat sebuah perubahan terencana. Selain itu, model Lewin dan penelitian tindakan lebih peduli dengan menyelesaikan masalah daripada dengan berfokus pada apa yang organisasi tidak baik dan memanfaatkan kekuatan-kekuatan tersebut. Perbedaan dalam fokus berasal dari perbedaan dalam mendefinisikan realitas sebagai tujuan atau konstruksi sosial
F.     Memasukkan dan Persetujuan
Memasuki suatu organisasi melibatkan pengumpulan data awal untuk memahami masalah yang dihadapi organisasi atau peluang positif untuk penyelidikan. Setelah informasi ini dikumpulkan., Masalah atau peluang dibahas dengan manajer dan anggota organisasi lain untuk mengembangkan kontrak atau perjanjian untuk terlibat dalam perubahan terencana
G.    Mendiagnosis
Proses diagnostik adalah salah satu kegiatan yang paling penting dalam Pengembangan Organisasi. Ini termasuk memilih model yang tepat untuk memahami organisasi dan mengumpulkan, menganalisis, dan memberikan umpan balik informasi kepada manajer dan anggota organisasi tentang masalah atau kesempatan yang ada
H.    Perencanaan dan Pelaksana Ubah
Pada tahap ini, organisasi anggota dan praktisi bersama-sama merencanakan dan menerapkan intervensi Pengembangan Organisasi. Mereka merancang intervensi untuk mencapai visi organisasi atau tujuan dan membuat rencana aksi untuk melaksanakannya. Ada beberapa kriteria untuk merancang intervensi, termasuk kesiapan organisasi untuk perubahan, perubahan kemampuan saat ini budaya dan distribusi kekuasaan

1.4. PARA PELAKU PENGEMBANGAN ORGANISASI

Pengembangan organisasi (PO) diterapkan kepada tiga jenis manusia : spesialisasi individu di dalam PO sebagai profesi, orang-orang dari lapangan terkait yang telah mencapai sejumlah kompetensi di dalam PO, dan para manajer yang memiliki keahlian PO yang diperlukan untuk perubahan dan mengembangkan organisasi atau departemen mereka.

Peranan profesional PO dapat diterapkan terhadap konsultan internal, yang memiliki organisasi yang sedang mengalami perubahan, dan terhadap konsultan eksternal yang menjadi anggota universitas dan perusahaan konsultan atau bekerja sendiri, serta terhadap anggota tim konsultan internal-eksternal. Peranan PO akan dideskripsikan secara tepat didalam istilah marjinalitas. Orang-orang yang berorientasi pada marjinalitas nampak khususnya beradaptasi untuk peran PO, karena mereka dapat menjaga kenetralan dan objektivitas serta mengembangkan solusi yang integratif yang mengakurkan titik pandang antara departemen-departemen oposisi. Sementara peranan PO di masa lalu telah dideskripsikan sebagai ujung klien dari suatu kontinum mulai dari fungsi clien-centered kepada consultant-centered. Pengembangan intervensi baru dan beraneka ragam telah menggeser peranan profesional PO meliputi keseluruhan rentang dari kontinum tersebut.


1.5. KONFLIK DALAM ORGANISASI

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Konflik organisasi adalah perbedaan pendapat atau pertentangan antara dua atau lebih individu-individu atau kelompok-kelompok atau unit-unit kerja dalam organisasi yang timbul karena adanya kenyataan bahwa mereka harus membagi sumber daya yang terbatas dalam aktivitas kerja dan kenyataan bahwa mereka memiliki tujuan, nilai, persepsi, dan interes yang berbeda. Konflik dalam organisasi ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Terdapat perbedaan pendapat / petentangan antara individu atau kelompok.
b.      Terdapat perselisihan dalam mencapai tujuan disebabkan adanya perbedaan persepsi dalam menafsirkan program organisasi.
c.       Terdapat pertentangan norma dan nilai-nilai individu atau kelompok,
d.      Adanya pertentangan sebagai akibat munculnya gagasan – gagasan baru dalam mencapai tujuan organisasi secara efektif,
e.       Adanya sikap dan prilaku saling menghalangi pihak lain untuk memperoleh kemenangan dalam memperebutkan sumber daya organisasi yang terbatas.

A.    Pendekatan Dalam Manajemen Konflik

1.      Stimulasi Konflik
f.       Peningkatan persaingan antar individu dan kelompok
g.      Pelibatan pihak eksternal ke dalam bagian dimana konflik terjadi
h.      Perubahan aturan main atau prosedur yang ada
2.      Pengendalian Konflik
a.       Perluasan penggunaan sumber daya organisasi
b.      Peningkatan Kordinasi dalam organisasi
c.       Penentuan tujuan bersama yang dapat mempertemukan berbagai pihak yang terlibat dalam konflik
d.      Mempertemukan perilaku dan kebiasaan kerja dari para pegawai
3.      Penyelesaian dan Penghilangan Konflik.
a.       Penghindaran Konflik dengan jalan penghindaran sumber-sumber konflik
b.      Intervensi terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik untuk melakukan kompromi
c.       Mengakomodasi keinginan pihak-pihak yang terlibat konflik dalam suatu forum penyelesaian konflik

B.     Memanajemen Konflik Dalam Organisasi

Manajemen konflik merupakan pendekatan atau strategi yang dirancang oleh pimpinan/kepala organisasi dalam mengoptimalkan konflik melalui proses identifkasi masalah, klasifikasi masalah, analisis penyebab masalah, serta penyelesaian masalah. Sedangkan strategi yang digunakan adalah; a) resolusi konflik, b) menstimulasi konflik, mengurangi/menurunkan konflik. Melalui penerapan manajemen konflik yang tepat diharapkan dapat mengatasi masalah yang muncul dalam organisasi dan selanjutnya berimplikasi pada peningkatan kinerja staf/karyawan.

Konflik (pertentangan atau perselisihan) adalah sesuatu yang tidak pernah dapat dihindari, yang terjadi kapan saja sepanjang hidup dan juga di dalam leadership. Penyelesaian konflik yang baik sangat penting dalam meningkatkan ketrampilan sebagai leadership dan memindahkan praktek manajemen dari paham otoritarian (kepatuhan pada seseorang) ke arah pendekatan kooperatif yang menekankan pada persuasi rasional, kolaborasi, kompromi dan penyelesaian yang saling menguntungkan.
Kemungkinan efek dari konflik, yaitu :
  1. Kemungkinan efek positif
  2. Kemungkinan efek negatif
  3. Meningkatkan usaha
  4. Merasa mendapat angin Saling pengertian lebih baik satu dengan yang lain
  5. Mendorong terjadinya perubahan Pengambilan keputusan yang lebih baik Isu-isu kunci  muncul ke permukaan Pemikiran kritis muncul
  6. Mengurangi produktivitas
  7. Penurunan komunikasi
  8. Perasaan negatif
  9. Stres
  10. Pengambilan keputusan yang tidak baik
  11. Penurunan bentuk kerjasama
  12. Muncul kegiatan fitnah

Konflik organisasi disebabkan langkanya sumberdaya. Anne Hubel & Caryn Medved:
Penyebab konflik: distorsi informasi akibat modifikasi pesan, ambiguitas akibat penggunaan bahasa yang tidak jelas dan kebohongan.

Manajemen Konflik dalam Komunikasi Asumsi setiap orang memiliki kecenderungan tertentu dalam menangani konflik. Terdapat 5 kecenderungan:
  1. Penolakan: konflik menyebabkan tidak nyaman
  2. Kompetisi: konflik memunculkan pemenang
  3. Kompromi: ada kompromi & negosiasi dalam konflik untuk meminimalisasi kerugian
  4. Akomodasi: ada pengorbanan tujuan pribadi untuk mempertahankan hubungan
  5. Kolaborasi: mementingkan dukungan & kesadaran pihak lain untuk bekerja bersama-sama.

Robbins (1996) dalam “Organization Behavior” menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Sedang menurut Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentengan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.
Perbedaan pendapat tidak selalu berarti perbedaan keinginan. Oleh karena konflik bersumber pada keinginan, maka perbedaan pendapat tidak selalu berarti konflik. Persaingan sangat erat hubungannya denga konflik karena dalam persaingan beberapa pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah menjurus ke aarah konflik, terutuma bila ada persaingan yang menggunakan cara-cara yang bertentengan dengan aturan yang disepakati. Permusuhan bukanlah konflik karena orang yang terlibat konflik bisa saja tidak memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya orang yang saling bermusuhan bisa saja tidak berada dalam keadaan konflik.
Konflik sendiri tidak selalu harus dihindari karena tidak selalu negatif akibatnya. Berbagai konflik yang ringan dan dapat dikendalikan (dikenal dan ditanggulangi) dapat berakibat positif bagi mereka yang terlibat maupun bagi organisasi.

C.    Kepemimpinan dan Manajemen Konflik

Penerapan manajemen kepemimpinan seringkali menimbulkan berbagai masalah di lapangan. Persoalan tersebut sebagai akibat dari pola manajemen yang tidak mumpuni dan tidak accountable, sehingga melahirkan sejumlah masalah yang pads akhirnya menghambat dinamika sebuah organisasi.

Dalam mengatasi masalah-masalah organisasi dibutuhkan pemimpin yang mempunyai kemampuan mengarahkan dan menggerakkan karyawan ke arah tujuan yang ditetapkan serta mampu menerapkan gaya kepemimpinan secara tepat, maka kepemimpinan yang efektif adalah apabila seseorang atau sekelompok orang karyawan menjalankan peker aan sesuai dengan harapan pemimpin dan cocok dengan kebutuhan pars karyawan serta mampu memberdayakan (empowering) dirinya untuk kepentingan organisasi. Ini berarti kepemimpinan seseorang tidak hanya didasari kekuasaan (power), akan tetapi atas kesadaran bawahan yang menganggap bahwa peker aan merupakan bagian dari kebutuhan.  Meskipun demikian, untuk mencapai tujuan organisasi, tidak jarang terjadi perbedaan persepsi atau pandangan di antara individu atau di antara kelompok individu dalam menerjemahkan misi organisasi sehingga menimbulkan konflik. Konflik bisa terjadi secara vertikal, yakni antara pimpinan dalam suatu organisasi dan para bawahannya. Namun konflik juga tidak jarang merupakan benturan horizontal antara sate karyawan dengan karyawan lainnya. Konflik antar para karyawan ini terjadi sebagai akibat berbagai kepentingan yang beragam dan situasi kerjayang tidak kondusif.

Konflik vertikal terjadi sebagai akibat ketidakcocokan antara kebijakan pimpinan dengan keinginan maupun kepentingan karyawan. Strategi kepemimpinan yang diterapkan secara top-down biasanya cendrung melahirkan konflik. Sistem semacam ini menjadikan pimpinan atau penguasa menjadi pusat dan memegang peranan yang sangat kuat dalam menerapkan ide-ide barn serta perubahan sesuai dengan kehendak dan pikiran-pikirannya semata.
Konflik, dalam konteks organisasi, merupakan fenomena yang sangat lumrah. Tidak ada organisasi yang tidak pernah mengalami suatu konflik. Akan tetapi, kekuatan sebuah organisasi tidak terletak pads minimalnya suatu konflik, melainkan bagaimana organisasi tersebut dapat menangani konflik secara baik, sehingga melahirkan sebuah sinergi positif yang dapat membesarkan organisasi. Sebaliknya, dan sekuat apapun suatu organisasi, tetapi bila konflik di dalamnya tidak dapat ditangani (dimanaj) dengan baik, maka kehancuran menjadi ancaman yang pasti buat organisasi tersebut.

Konflik menjadi perilaku lumrah dalam setiap organisasi manapun. Hal ini disebabkan karena organisasi, dalam teori sistem, adalah satu elemen dari sejumlah elemen yang berinteraksi secara independen. Organisasi tergantung pada lingkungan yang memungkinkan terjadinya hubungan klien dan dan timbal-balik. Dengan begitu, perubahan yang terjadi dalam satu unsur akan mempengaruhi dan bahkan menyebabkan perubahan pada unsur atau bagian lain. Menurut teori sistem, saling berhubungan dan ketergantungan antara bagian-bagian yang terpisah dalam organisasi akan menjadi lebih produktif dibandingkan jika bertindak sendiri-sendiri. (J.A .F. Stoner & C.Wankel.: 1993).

Sejauh menyangkut masalah konflik, hubungan antara pimpinan dan karyawan agaknya memiliki peranan yang paling sentral. Dalam hal ini peranan pimpinan, secara khusus, menjadi lebih penting. Kegagalan dalam hubungan ini dapat menyebabkan kerusakan sistem organisasi secara keseluruhan. Karena itu, pimpinan diharapkan dapat menerapkan manajemen kepemimpinan secara baik sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen yang modern dan bermutu.

Pemimpin adalah figur utama, dan kepemimpinan adalah proses dalam mempengaruhi kegiatan-kegiatan seseorang atau kelompok dalam usahanya mencapai tujuan yang ditetapkan. (Wahjosumidjo :1999)  Kenyataannya, fenomena seringkali memperlihatkan bahwa kepemimpinan seringkali tidak berjalan secara efektif. Hal semacam ini dapat disaksikan dalam institusi-institusi pendidikan/pelatihan, sehingga masalah tersebut tidak jarang melahirkan konflik.

Kecemburuan terhadap prestasi dan kinerja karyawan tertentu juga menimbulkan kecemburuan sosial antar para karyawan lainnya. Bahkan, persaingan antar etnis tidak jarang memainkan peran yang mencolok yang menimbulkan konflik dan ketegangan. Fenomena semacam ini, tentu bukan merupakan sebuah hal yang asing, sebab, masalah yang serupa juga sering dialami dalam organisasi lainnya. Namun, sebagai sebuah institusi yang bergerak di bidang pendidikan, hal semacam ini sangat perlu ditangani dengan bijaksana agar tidak menimbulkan efek samping yang sangat merugikan eksistensi organisasi ini.


Kajian manajemen konflik ini merupakan sub bagian dari manajemen prilaku organisasi (human behavior management) yang mengkaji tentang prilaku individu atau kelompok dalam hubungan dengan orang lain dalam organisasi. Kajian manajemen konflik dalam organisasi dalam konteks yang lebih luas adalah wilayah studi manajemen, yang mengkaji bagaimana pengelolaan hubungan antar individu – individu dan kelompok  yang saling bertentangan dalam organisasi sehingga mampu melahirkan kinerja dan produktivitas bagi kepentingan organisasi.

No comments:

Post a Comment